Thursday, February 4, 2010

TAFSIR, TA’WIL, DAN TERJEMAH


I. Tafsir
Tafsir menurut bahasa mengikuti wazan “Taf’il”, berasal dari akar kata Al-fasr yang berarti menjelaskan menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “DARABA-YADRIBU”dan “NASARA-YANSURU. Dikatakan: fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru fasran”
Sebagian ulama berpendapat ,kata tafsir adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari “safara” yang juga berarti menyingkap (al-khasif).
Tafsir menurut istilah adalah ilmu yng membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz al-qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika tersusun, dan makna – makna yang di mungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya
Kemudian, ABU HAYYAN menjelaskan dengan terperinci yaitu: Kata-kata ilmu adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafaz - lafaz al-qur’an, mengacu kepada ilmu DIRALAT. Petunjuk – petunjuknya adalah pengertian yang di tunjuk pada lafaz-lafaz itu.
Kata –kata “ hukum nya baik ketika berdiri sendiri atau ketika tersusun.meliputi: ilmu saraf, ilmu I’raf, ilmu bayan, dan ilmu budi. Kata-kata “makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun“ meliputi kata hakiki majazi. Sebab terkadang menurut lahirnya menghendaki suatu makan tapi untuk membawanya terdapat penghalang sehingga tarkib itu mesti dibawa ke makna hukum lahir ( majas ).
Dan kata-kata yang melengkapinya mencakup pengetahuan tentang nash, sebuah nuzul, kisah-kisah yang terdapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-quran dan lainnya.
Menurut Azarkasyh tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya


II. Ta’wil
Ta’wil berasal dari kata “ Aul “ yang berarti kembali ke asal. Ta’wil kalam ada dua macam. Pertama Ta’wil kalam dengan pengertian suatu makna yang mutakalim (pembicaraan) mengembalikan perkataannya (kalamnya dikembalikan). Kalam ada dua yaitu insak dan ikbar salah satu contoh insak adalah Amr (kalimat perintah). Makna Ta’wilul Amr ialah esensi perbuatan yang diperintah misalnya Allah berfirman: Maka bertasbilah dengan memuji tuhanmu dan mohonlah ampun kepadanya. (Sesungguhnya dia Maha Penerima Taubat). An-Nasr 110 : 3.
Sedang ta’wil ikbar adalah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi misalnya firman allah.
Dan sungguh kami telah mendatangkan kitab (Quran) kepada mereka yang kami telah menjelaskan atas dasar pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Tiadalah mereka menunggu kecuali ta’wilnya pada hari ta’wilnya itu datang, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu “ sungguh telah datang rasul-rasul tuhan kami membawa yang hak maka adalah bagi kami pemberi safaat yang akan memberikan safaat bagi kami/dapatkah kami kembalikan ( kedunia ) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan ( Al-A’raf 7 : 52-53 ).
Kedua Takwilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya jadi yang dimaksud kata ta’wil di sini adalah tafsir. Ta’wil dalam tradisi muta’ahirin adalah:memalingkan makna lafaz yang kuat (rajah) kepada makna yang lemah (merjuh) karma ada dalil yang menyertainya. Di antara para ulama ada yang membedakan antara makna tafsir dan ta’wil yaitu Zarkasi :
Ibn faris menjelaskan: makna-makna ungkapan yang menggambarkan sesuatu itu kembali kepada 3 kata: makna, tafsir, ta’wil
“ Tafsir menurut bahasa mengacu kepada arti “menampakkan & menyingkap ”. kata tafsir ini mengacu juga kpada arti menyingkap. Dengan demikian tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksud lafaz dan melepaskan ap yang tertahan dari pemahaman.
“Ta’wil menurt bahasa berasal dari “aul”. Dengan demikian ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kpd makna-makna yang dapat di terimanya. Kata ta’wil di bentuk dengan pola “TAF’IL”adalah untuk menunjukkan arti banyak.

III. Terjemah
Terjemah berasal dari bahasa arab yang berrti memindahkan makan lafal kedalam bahasa lain. Menurut pengertian istilah ‘urfi’: terjemah ialah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa kedalam bahasa lain dengan kata lain terjemah ialah memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
a. Pembagian terjemah
1. terjemah harfiyah, yaitu yang kata perkatanya sangat terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama, sehingga seakan-akan hanya menggantikan makna kata-kata itu pada urutan dan tempatnya masing-masing secara sama
2. terjemah tafsiriyah, yaitu terjemah yang mengungkapkan makna kedalam bahasa kedua kata perkatanya tidak terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama. Terjemah ini dinamakan terjemah tafsiriyah karena dalam mengungkapakan makna yang dimaksud hamper nenyerupai tafsir.

b. Syarat-syarat terjemah
Ada empat yang harus diperhatikan dalam menterjemah, yaitu:
1. benar-benar mengetahui dan menghayati kedudukan dan aspek-aspek bahasa yaitu bahasa pertama dan kedua
2. mengetahui tentang pola kalimat dan cirri-ciri khas kedua bahasa
3. terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa pertama dengan mantap
4. bahasa terjemah seharusnya benar-benar murni, artinya bahawa terjemahan harus benar-benar memindah makna bahasa pertam kebahasa lain.
IV. Perbedaan Tafsir Dan Ta’wil
Tafsir adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya. Maka “ta’wil “dan “tafsir” adalah 2 kata yang berdekatan atau sama maknanya.
• Ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntunan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khobar adalah esensi sesuatu yang diberitakan.


Dari 2 di atas tafsir dan ta’wil punya perbedaan cukup jauh. Kalau tafsir adalah saran dan penjelasan bagi suatu perkataan yang berada dalam suatu pikiran dengan cara memahaminya dengan suatu ungkapan yang menunjukkannya. Sedangkan ta’wil adalah esensi susuatu yang berada dalam realita ( bukan dalam pikiran ).
• Tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam kitabullah atau tertentu ( pasti ) dalam sunnah yang sahih karena maknannya sudah jelas. Ta’wil adalah apa yang disimpulkan ulama. Karena ulama mengatakan tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat, sedangakn ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah.
• Tafsir lebih banyak digunakan ( untuk menerangkan ) lafaz-lafaz dan mufrodat (kosakata) ta’wil lebih banyak dipakai dalam ( menjelaskan ) makna dan susunan kalimat.
V. Perbedaan tafsir dengan terjemah
Tafsir dengan terjemah, baik terjemah harfiyah maupun tafsiriyah tidak sama. Antar keduanya ada perbedaan-perbedaan antara lain:
1. pada terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa pertama yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya
2. pada terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang meluas yang melebihi dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir boleh.
3. pada terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa yang diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.
4. pada terjemah harus diakui bahwa sipenterjemah sudah melakukan terjemahan,sejau ia telah berhasil memindahkan makna bahasa pertama kebahasa terjemah,sedangkan tafsir tidak.







Qira’atul Qur’an


· Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan


· Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya


· Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah



· Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.

· Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at


Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:



1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ

2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).


3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril..


4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.


5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.


6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.



· Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1.
صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2.
مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3.
موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.


· Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر :
Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah

Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد :
Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini

tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ :
Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam

firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع
: Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج :
Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.

· Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.


1. Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah:
وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .

2. Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir


· Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:

1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum


syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.


· Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat (
إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj
( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)



Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca
وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at
وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz
اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at
وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at
وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.

MUHKAM DAN MUTASYABIH

· Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan. Bisa bermakna, menolak dari kerusakan.Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman.

· Mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar. mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah swt.


Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
  1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya. 
  2. Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur'an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
 
Sementara ayat-ayat mutasyabih, mereka mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-Nya, seperti:وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْض (البقرة: 255)
"Kursi-Nya meliputi langit dan bumi".

اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
"Yang Maha Pengasih, yang bersemanyam di atas 'Arsy".

تَجْرِى بِأَعْيُنِنَا جَزَاءًا لِمَنْ كَانَ كُفِرَ (القمر: 14)
"(bahteranya nabi Nuh as) berlayar dengan pantauan mata Kami. (seperti itulah musibah yang Kami turunkan) sebagai balasan bagi orang yang ingkar".

إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَايُبَايِعُوْنَ اللهَ, يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
"Sesungguhnya orang-orang yang membai'at-mu ya Rasul, mereka-lah yang berikrar menerima (bahwa Tuhan mereka) adalah Allah. Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka".

وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (القصص: 88
)
"dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah".

· muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu amalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT


Macam-Macam Ayat Mutasyabihat:
  1. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya.
  2. Ayat-ayat yang mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contohnya, seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengkayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
  3. Ayat-ayat yang mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal-hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmu pengetahuannya

· Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih:
  1. Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal dari ulama mutaqaddimin
  2. Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin

· Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat:
  1. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
  2. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
  3. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
  4. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.

· Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat:
  1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
  2. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni
  3. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
  4. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT. 
  5. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam

*Dari berbagai sumber

Makkiyah Dan Madaniyah

· Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw sebelum berhijrah ke Madinah.


· Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw setelah berhijrah ke Madinah.


· Perbedaan Al-Maky wal Madany

















































































No



Al-Makiyah



Al-Madaniyah



1.







Kebanyakan konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yg didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yg tegas. Ex: Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.



kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Ex: di surat Al-Maa’idah.


2.



Kebanyakan adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Ex: surat Ath-Thuur.



kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum2 dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dgn kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.



3.



berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang benar karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu.



berisikan perincian masalah ibadah dan muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang benar .



4.



Turun sblum hijrah mskpun bkn di Mekah



Turun sesudah hijrah mskpun bkn di Madinah



5.



Turun di mekah dan sktarnya: mina,arafah,hudaibiyah



Turun di madinah dan sktarnya : Uhud , Quba



6.



Seruannya ditujukan kpda penduduk mekkah



Seruannya ditujukan kpda penduduk madinah



7.



Mengandung ayat sajdah



Berisi kewajiban dan sanksi



8.



Mengandung lafal ‘kalla’ 33x dlm 15 surat



Menyebutkan orang-orang munafik



9.



Mengandung yaa ayyuhan nas dan tdk mngndung yaa ayyuhal ladziina aamanu



Suku kata dan ayatnya panjang2 dan dgn gaya bhasa ug memantapkan syariat danmenjelaskan tujuan



10.



Mengandung kisah para nabi dan ummat



Terdapat dialog dgn ahli kitab



11



Mengandung kisah adam dan iblis



Menyingkap perilaku orang munafik



12



Surah dibuka dgn huruf2 sngkatan ex: alif lam mim



Menjelaskan ibadah,muamalah,had,kekeluargaan



13



Berisi ajakan kpd tauhid dan beribadah kpda Allah



Warisan,jihad,hub.sosial,hub.internasional



14



Peletakan dasar2 umum perundang2an



Ttg ahli ktab dari yahudi dan nasrani



· Kegunaan mengetahui al-makky al-madany


1. Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.


2. Nampak jelas puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.


3. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing


4. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.


5. Untuk dijadikan alat bantu dalam menfsirkan al-qur’an


6. Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat al-qur’an


· Surat-surat al-makky: Al-Fatehah, Al-An'aam, Al-A'raaf, Yunus,Huud,Yusuf, Ibrahim, Al-Hijr, An-Nahl, Al-Isroo', Al-Kahfi, Maryam, Thaha, Al-Anbiya', Al-Mu'minuun, Al-Furqaan, Asy-Syu'aro', An-Naml, Al-Qashash, Al-Ankabuut, Ar-Ruum, Luqman, As-Sajdah, Sabaa, Al-Faathir, Yaasiin, Ash-Shaffaat, Shaad, Az-Zumar, Ghaafir, Fushshilat, Asy-Syuuroo, Az-Zukhruf, Ad-Dukhoon, Al-Jaatsiyah, Al-Ahqaaf, Qaaf, Adz-Dzaariyaat, Ath-Thuur, An-Najm, Al-Qamar, Al-Waaqi'ah, Al-Mulk, Al-Qalam, Al-Haaqqah, Al-Ma'aarij, Nuuh, Al-Jin, Al-Muzzammil, Al-Muddatstsir, Al-Qiyaamah, Al-Muraasalaat, An-Naba', An-Naazi'aat ,Abasa,At-Takwiir, Al-Infithaar, Al-Muthaffifiin, Al-Insyiqaaq,Al-Buruuj, Ath-Thaariq, Al-A'laa, Al-Ghaasyiyah, Al-Fajr,Al-Balad, Asy-Syams, Al-Lail, Adh-Dhuhaa, Al-'Ashr, At-Tiyn,Al-'Alaq, Al-Qadr, Al-'Aadiyaat, Al-Qaari'ah, At-Takatsur, Al-Ashr,Al-Humazah, Al-Fiyl, Quraisy, Al-Maa'uun, Al-Kautsar, Al-Kaafiruun,Al-Masad, Al-Ikhlaash, Al-Falaq, An-Naas


· Surat-surat al-madany: Al-Baqarah,Ali Imran,An-Nisaa',Al-Maa`idah,Al-Anfaal,At-Taubah, Ar-Ra'd, Al-Hajj, An-Nuur,Al-Ahzaab, Muhammad, Al-Fat-h, Al-Hujuroot, Ar-Rahman, Al-Hadiid, Al-Mujaadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaf, Al-Jumu'ah, Al-Munaafiquun, At-Taghaabun, Ath-Thalaaq, At-Tahriim, Al-Insaan, Al-Bayyinah, Al-Zalzalah, An-Nashr