Sunday, April 14, 2013

GULA dan SIRUP

Tulisan ini tersurat di selembar kertas putih yang terlipat-lipat di antara tumpukan buku,,
dan ternyata tulisan ini adalah hadiah dari BPH LDK UIN SYAHID 2010/2011 ketika jaulah ke KomDa FAH pada hari Selasa, 23 November 2010, dan sekarang sudah bulan April 2013, subhanallah...
Jadi teringat masa-masa ketika di KomDa dulu, rumah yang sempat hampir saya tinggalkan waktu itu karena mau pindah kampus.. :')


GULA dan SIRUP

Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. 
Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya 
dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirup.

Masalahnya sederhana. 
Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. 
Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja.
Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas,
tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu.
Manusia cuma menyebut, "ini teh manis".
Bukan teh gula.
Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas.
Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan 'kopi gula pasir'.
Melainkan, kopi manis.
Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.

Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan.
Ia cuma disebut manakala manusia butuh.
Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun.
Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya 
yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis.

Berbeda sekali dengan sirup.
Dari segi eksistensi, sirup tidak hilang ketika bercampur.
Warnanya masih terlihat.
Manusia pun mengatakan, "Ini es sirup", bukan es manis.
Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap,
"Es sirup mangga, es sirup lemon, es sirup coco pandan" dan seterusnya.

Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirup, " Andai aku seperti kamu".

***********************************************************
Sosok gula pasir dan sirup merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.
Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apapun sirup dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirup!".

Selasa, 23 November 2010
Jaulah KomDa FAH
BPH LDK UIN SYAHID 2010/2011


No comments:

Post a Comment

Thank You ^_^