Saturday, October 6, 2012

PSIKOLINGUISTIK : PERSEPSI UJARAN

Oleh : S. Hani. N

A.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang tidak disertai dengan kehadiran bahasa. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya dapat bermacam-macam sejalan dengan bidang kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Jawaban seperti, bahasa adalah alat untuk menyampaikan  isi pikiran, bahasa adalah alat untuk berinterakasi, bahasa adalah alat untuk mengekspresikan diri, dan bahasa adalah alat untuk menampung hasil kebudayaan, semuanya dapat diterima.
Berbahasa itu adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau serangkaian ujaran. Satu proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila makna yang dikirmkan penutur dapat di resepsi oleh pendengar persis seperti yang di maksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan baik pabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam memproduksi ujaran, bisa juga diebabkan oleh faktor pendengar yang kurang mampu merespsi ujaran itu, atau bisa juga akibat faktor lingkungan sewaktu ujaran itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar. [1]
Bagaimanakah proses persepsi terhadap ujaran berlangsung? Dan faktor apa sajakah yang mempengaruhinya? Berikut ini akan dibahas pada poin pembahasan.

B.  PEMBAHASAN
1.      PERSEPSI TERHADAP UJARAN
Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara.Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncullah makna sintaksis,semantik,dan pragmatik.[2]
Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.[3]
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia  karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain.[4]
Ketika seseorang berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu membedakan ciri bunyi yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu menangkap dan memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang membentuk sebuah tuturan, cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh seorang penutur. Seorang penguji coba dalam sebuah media elektronik dituntut memiliki kepekaan dalam persepsi terhadap bunyi bahasa yang yang dihasilkan oleh calon pembawa acara. Ia harus mampu menangkap ketepatan bunyi vokal dan konsonan. Selain itu, ia harus mampu menangkap cepat- lambat, tekanan, serta nada bicara si calon pembawa acara tersebut. Seorang komentator dalam acara kompetisi menyanyi yang populer di televisi dituntut mampu menangkap ketepatan nada yang dihasilkan oleh si penyanyi[5].
Berdasarkan uraian diatas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni
  1. Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan konsonan
  2. Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada.
Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut bunyi segmental. Bunyi bhasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan   nada disebut bunyio suprasegmental atau prosodi. [6]
Perhatikan tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain , dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama [bukanahka].
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi  [b] pada kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan  dengan bibir yang melebar pada kata biru  karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.[7]
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clack & Clark, 1977) :
  1. Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT[8] sangat bermanfaat di sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.
  2. Tahap fonetik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita,kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa – vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan hal-hal  seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya. Kemudian VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menetukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi.
            Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar bunyi [b] dari kata buntu  maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip – rounding) . Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.
Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/ didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/; bila /n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.[9]
  1. Tahap fonologis : Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi  tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi  /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /Ə/, /h/, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is , tidak mungkin be dan ngis.
            Orang Indonesiayang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil akan mempersepsikannya  sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok  meskipun kedua-duanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.
Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktuhgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara mental dengan melalui proses yang sama. Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu teranalisis. Yang akan membedakan antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka adalah jeda (juncture) yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya.[10]

2.      MODEL-MODEL UNTUK PERSEPSI
Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi sehingga akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah diajukan:
a.    Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran
Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Namun demikian, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi  ini tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua alofon  dari satu fonem yang sama, yakni, fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang sama.
Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa didasarkan pada persepsi si pendengar yang seolah-olah membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri yang mengujarkannya.[11]
b.   Model Analisis dengan Sintesis
Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujuran (sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai dengan /p/ yang berfitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai,  disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola/,  /bola/ ... sampai akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni, /pola/. Baru pada saat itulah deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.
c.    Fuzzy Logical Model
Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses : evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni, bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni, semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-masing fitur dari suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/ yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa. Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap sama denga prototipe kita.[12]
d.   Model Cohort
Model untuk mengenal kata ini  terdiri dari dua tahap:
  • Ø Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai dengan  /p/ maka teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort.
  • Ø Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kata kedua ini bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata memliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata tergetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan masukan yang diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin. Secara diagramatik model untuk mempersepsi kata prihatin adalah sebagai berikut:[13]
Pahala
Pujaan
Prianti
Prihatin        Priyayi         pryayi             priyayi
Prakata       prakata
Prihatin       prihatin          prihatin       prihatin
Dst
e.    Model Trace
Model ini mula-mulanya adalah model untuk mempersepsi huruf tetapi kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi. Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses top-down. Artinya konteks leksikal dapat membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu pula informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemprosesan pada tataran di bawahnya.
Proses ini terdiri dari tiga tahap: tahap fitur, tahap fonem, dan tahap kata. Pada masing-masing tahap ada node-node yang mewakili fitur distingtif, fonem, dan kata. Masing-masing node mempunyai tingkat yang dinamakan resting, threshold, dan activation. Bila kita mendengar suatu bunyi,maka bunyi ini akan mengaktifkan fitur-fitur distingtif tertentu dan ‘’mengistirahtkan’’ fitur-fitur distingtif lain yang tidak relevan. Jadi, seandainya kita mendengar bunyi /ba/, maka bunyi /b/ akan mengaktifkan fitur-fitur distingtif [+konsonantal], [+anterior], [+vois] dan beberapa fitur yang lain, tetapi fitur-fitur seperti [+vokalik], [+nasal], dan [+koronal] akan ‘’diistirahatkan.’’ Dengan kata lain, fitur-fitur yang relevan itu tadi muncul pada tingkat threshold.
Node-node ini saling berkaitan sehingga munculnya fitur-fitur tertentu pada tingkat threshold bisa pula memunculkan node-node yang lain. Karena perbedaan antara /b/ dan /p/ hanyalah pada soal vois maka waktu /b/ muncul, /p/ bisa pula ikut muncul untuk dikontraskan – meskipun kemudian disingkirkan. Begitu pula ada jaringan interkoneksi antara satu tingkat dengan tingkat yang lain. Munculnya /k/ dan /o/ utuk kata Inggris coat bisa memunculkan kata code, boat, dan road pada tataran kata.
Melalui proses eliminasi pada masing-masing tahap akhirnya ditemukan kata yang memang kita dengar.[14]

3.     
PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS
Di atas telah digambarkan bagaimana manusia  memproses ujaran yang kita dengar secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak diujarkan secra terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /u/ ( seperti pada kata pukat). Pada rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara fonemik sama. Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi, pendengar akan tetap menganggapnya sama apabila perbedaan itu merupakan akibat dari adanya bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-alofon suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai satu fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja dapat memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada saat kita akan mengucapkan kata sakit, sehingga kata ini kedengaran seperti /keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud oleh pembicara.
Dari gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks dalam persepsi ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progsesif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan makna yang layak.[15]

C.   KESIMPULAN
       Persepsi ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat proses atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi. Melalui tahapan-tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi yang diujarkan oleh penutur  dan memahaminya secara tepat dan sesuai dengan maksud si penutur.
Persepsi ujaran juga mempunyai beberapa model dimana pada masing-masing model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan lingkungan, keadaan psikologis si penutur, dan juga kemampuan bahasa si pendengar atau yang memberikan persepsi.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik.Rineka Cipta : Jakarta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia: jakarta
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa.Gramedia Pustaka Umum : Jakarta

[1] Abdul Chaer. Psikolinguistik, Kajian Teoritik. Hal 267
[2] http://afrizaldaonk.blogspot.com/2011/01/persepsi-ujaran.html
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi
[4] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal 49
[5] Kushartanti, dkk. Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Lingustik. hal 43
[6] Kushartanti, dkk. Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Lingustik. hal 43
[7] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal 49
[8] VOT adalah Voice Onset Time, waktu antara lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya. (Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal 46)
[9] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal 51
[10] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal  52
[11] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal  52
[12] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal  54
[13] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal  55
[14] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal 56
[15] Soenjono  Dardjowidjojo.  Psikolinguistik. Hal  58

No comments:

Post a Comment

Thank You ^_^