Monday, October 3, 2016

EKSISTENSI PENGARANG DI INDONESIA



Oleh : S. Hani. N
 BAB I
PENDAHULUAN
  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi, definisi singkat dan sederhana itu dapat didebat dengan pendapat yang mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.[1] 
Sejarah sastra Indonesia adalah berbicara tentang sejarah perjalanan semua hal yang berhubungan dengan sastra di Indonesia, baik itu pengarang, keadaan sosial, karya yang dihasilkan, dan lain sebagainya. Salah satu diantaranya yang sangat berpengaruh pada sebuah karya sastra adalah pengarang.
Dunia kepengarangan merupakan wilayah tersendiri dalam dinamika sastra Indonesia selama ini. Yang jelas, selama ini tidak ada sekolah kepengarangan, tetapi terus  bermunculan pengarang dengan potensi yang beragam.[2]
Tradisi kepengarangan di Indonesia sesungguhnya telah punya sejarah yang panjang. Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal-bakalnya dimulai sejak zaman raja-raja yang berlanjut nantinya dan mengikuti pergerakan zaman dan berubah sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang dialami masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut dalam makalah ini tidak hanya akan dibahas tentang kepengarangan di Indonesia, tetapi juga penyusun akan membahas tentang bagaimana citra kepengarangan di Indonesia yang ternyata tidak sama pencitraannya antara zaman dahulu sebelum perang kemerdekaan dan zaman modern (saat ini). Tentu hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya dan akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya.


BAB II
EKSISTENSI KEPENGARANGAN INDONESIA

Seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, tradisi kepengarangan di Indonesia sesungguhnya telah punya sejarah yang panjang. Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal-bakalnya dimulai sejak zaman raja-raja.
A.Tradisi Kepengarangan Tradisional dan Modern
Pada mulanya ia berkaitan erat dengan kelahiran dan perkembangan sastra keraton; sebuah kehidupan estetik yang dilahirkan dan dinikmati keluarga bangsawan yang hidup di lingkungan istana. Sastra keraton mengangkat kehidupan istana dan raja-raja (istana sentris) serta dunia supernatural. Penciptaan karya sastra dimaksudkan sebagai salah satu alat untuk melegitimasi kekuasaan raja. Sastra keraton tumbuh dan berkembang di lingkungan istana. [3]
Tradisi kepengarangan sebagai profesi khusus dimulai dari lingkungan keraton yang diperankan golongan bangsawan. Dalam hal ini, yang dimaksud profesi  kepengarangan (kepujanggaan) adalah pekerjaan atau aktivitas yang menghasilkan atau mendatangkan keuntungan tertentu. Pihak kerajaan biasanya memberi balas jasa atas profesi itu dalam bentuk pengayoman. Dalam sistem pengayoman, raja bertindak sebagai pelindung dan kerajaan memberikan berbagai fasilitas, tidak hanya kepada pujangga yang bersangkutan, tetapi juga kepada segenap anggota keluarganya. Mengingat pujangga keraton telah menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan itu, ia melakukan pekerjaannya berdasarkan perintah raja atau pesanan pihak keluarga kerajaan. Cara penyampaiannya, dapat dilakukan secara lisan atau melalui tulisan tangan, bergantung pada tujuan yang hendak disampaikannya.[4]
Tradisi kesusastraan di luar keraton menyebar secara lisan. Para tukang cerita, pawang, atau orang-orang yang dituakan, seperti kepala suku atau ketua adat, menyampaikan sastra lisan lantaran ia punya peranan penting dalam masyarakat, dan bukan semata-mata karena penguasaannya pada cerita-cerita yang sering dianggap sakral itu. Jadi, mereka itu tidak menempatkan kegiatan bercerita sebagai profesi, melainkan sebagai bentuk kepercayaan masyarakat atas status sosial yang disandangnya.
Dalam perkembangannya, peranan profesi kepengarangan mulai bergeser setelah muncul para pujangga atau penyalin naskah di luar keraton. Mereka hidup sebagai bagian dari sistem sosial dengan bentuk tulisan sebagai manifestasi profesinya. Hubungan dengan audiensnya juga bergeser dari hubungan yang langsung bertatap muka dengan pengarang menjadi tidak langsung karena sudah melaui tulisan.
Sebelum mengenal tulisan, sastra berkembang melalui lisan, penyebarannya dari mulut ke mulut, maka tidak heran akan ditemukan beberapa versi tentang sastra tersebut berupa pengurangan atau penambahan. Misalnya cerita-cerita si Kabayan, ia berkembang di Pasundan dengan lebih dari puluhan versi. Banyak orang Pasundan yang akhirnya menganggap bahwa tokoh Kabayan itu benar-benar hidup, bahkan sebagian mereka berziarah ke makam yang dipercaya sebagai makam Kabayan.
Ketika orang mulai mengenal tulisan, beberapa cerita lisan mulai dituliskan. Dan banyak diantaranya dituliskan atas perintah raja, sultan, atau bangsawan yang menggemari cerita-cerita itu. Beberapa pejabat Belanda pun menyuruh pegawai primbuminya untuk menyalin cerita-cerita yang pernah didengarnya.[5] 
Belum dikenalnya alat cetak menyebabkan penyebaran cerita dalam naskah-naskah itu dilakukan lewat tulisan tangan atau dengan penyalinan kembali. Akibatnya, cerita dalam naskah itupun sering kali mengalami perubahan. Ada bagian yang terlalaikan atau tak tertuliskan, baik secara sengaja atau tidak, ada yang dihilangkan dan ada yang ditambahkan, bahkan ada yang hanya jalan cerita dan tokohnya saja yang disalin, sedangkan peristiwa-peristiwanya sengaja disalin secara berbeda.[6] Contohnya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Pandawa Lima atau cerita-cerita binatang, misalnya dalam sepuluh versi. Akibatnya kita sulit mencari mana teks atau sastra yang asli.
Ketika alat cetak diperkenalkan, terjadi perubahan besar dalam tradisi kesusastraan di Nusantara. Ketika Abdullah bin Abdulkadir Munsyi pertama kali menggunakan alat cetak batu untuk karyanya Kalila dan Damina, ia mengatakan ada empat manfaat yang dapat diambil dari alat cetak batu itu, yaitu (1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaannya, (3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya. Sejak itu dimulailah penerbitan buku-buku sastra dan buku pengetahuan lainnya yang berbarengan dengan penerbitan surat-surat kabar dan majalah. Jika melihat awal digunakannya alat cetak dalam tradisi kesusastraan Indonesia, maka dua nama yang mengawali penerbitan karya sastra dengan menggunakan alat cetak adalah Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dari sinilah sesungguhnya tradisi kepengarangan dan kesusastraan Indonesia modern, dapat kita telusuri.[7] 
Meskipun karya kedua sastrawan ini masih memperlihatkan ciri-ciri kesusastraan lama, peranan kepengarangannya sudah dilakukan secara profesional. Dengan demikian, peranan kepengarangannya juga dilakukan sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat modern. Di betawi pada akhir abad ke-19, Muhammad Bakir bin Sofyan bin Usman Fadli juga telah merintis pekerjaan mengarang sebagai sebuah profesi. Ia menulis naskah dan kemudian meminjamkannya kepada masyarakat dengan bayaran tertentu.[8]
Dapat disimpulkan, pekerjaan mengarang sebagai sebuah profesi, telah dirintis Muhammad Bakir ketika itu. Sebuah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian menulis dan mengarang.
Sejumlah faktor yang memungkinkan munculnya profesi itu, antara lain disebabkan  oleh beberapa hal berikut ini: (1) jatuhnya sejumlah kerajaan di Jawa telah memudarkan dominasi raja sebagai pengayom, (2) makin kuat dan meluasnya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang menggantikan kekuasaan dan peranan raja, sultan, atau pemimpin tradisional, (3) berkurangnya kisah-kisah yang berpusat pada kehidupan istana (istana sentris) dan dunia supernatural, (4) mulai banyak kisah yang mengangkat kehidupan sosial, dan (5) digunakannyab alat cetak. Itulah sebabnya, beberapa penulis seperti Muhammad Bakir, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan Raja Ali Haji peranannya mulai ditempatkan sebagai pekerja profesional. Sementara karya-karyanya itu sendiri, dalam beberapa hal, seperti pencantuman nama pengarang atau penulis-penyalin, penyebutan latar waktu dan latar tempat, dan adanya gambaran tentang masyarakat tertentu menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dibandingkan karya-karya sebelumnya. Perbedaan itulah yang menandai ciri-ciri kesusastraan modern dengan ciri-ciri kesusastraan sebelumnya.[9]
Perkembangan sangat cepat terjadi setelah diperkenalkannya alat cetak. Sejak itu, bermunculan sejumlah penerbit swasta menjelang dan awal tahun 1900-an, lalu disusul dengan berdirinya Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 yang kemudian berganti nama menjadi Balai Pustaka tahun 1917. Peranan profesional sastrawan dengan demikian makin memperoleh bentuk dan kedudukan yang jelas di tengah masyarakat. Waktu itu pekerjaan sebagai sastrawan memperoleh imabalan material yang pantas, bahkan lebih besar pula dari gaji sebulan seorang guru sekolah pemerintah. Demikian juga penghargaan masyarakat terhadap sastrawan, sangatlah baik mengingat mereka termasuk sebagai golongan priayi.[10]
   Mengingat peranan alat cetak sangat besar artinya bagi penerbitan karya-karya sastra, maka profesi sastrawan menuntut adanya syarat-syarat tertentu:
1.    Penguasaan membaca dan menulis.
2.    Kemampuannya melakukan rekreasi, yaitu menciptakan kembali kehidupan yang sebenarnya ke dalam dunia kata-kata. Dalam hal ini, penguasaan bahasa dan kemampuan melakukan pilihan kata (diksi) merupakan hal yang mutlak dimiliki seorang sastrawan.
3.    Penguasaan ilmu pengetahuan. Pendidikan, pergaulan, dan pengalaman bagi profesi sastrawan merupakan faktor penting dan menentukan keberhasilan seseorang yang menempatkan profesi sastrawan sebagai pekerjaan.[11]
Pada kapengarangan tradisional, guna memperkokoh karisma raja dihadapan rakyat, berbagai cerita tentang kesucian, kehebatan dan kesaktian raja, menjadi salah satu sarana penting untuk menciptakan citra karismatik rajanya. Lewat cerita seperti itu, diharapkan rakyat tidak hanya bangga dan mengagumi rajanya, tetapi juga memberi legitimasi agar rakyat dapat makin mempercayai kesaktian rajanya. Bahkan, tidak jarang masyarakat mempercayai raja sebagai keturunan dewa.[12]
Dalam hal itulah, para pujangga kerajaan memainkan peranannya. Lalu, dibuatlah kisah-kisah tentang raja yang digambarkan sebagai titisan dewa yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan berbagai kisah kepahlawanan dan penaklukan yang dilakukan rajanya. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika dalam kesusastraan lama, sebagaimana yang dapat kita cermati pada naskah-naskah kesusastraan lama, selalu saja ada kisah yang berkaitann dengan dunia supernatural. Seperti pada Hikayat Seri Rama, Hikayat Pandawa Lima atau cerita-cerita Panji, semua menggambarkan hal demikian.[13]
Dalam tradisi kesusastraan lama, pujangga hanya memusatkan perhatiannya pada kehidupan istana ataudunia supranatural. Oleh karena itu, salah satu ciri yang menonjol pada karya sastra lama adalah gambaran kehidupan yang berpusat pada kehidupan istana (istana sentris) yang diwarnai dengan kisah-kisah supernatural. Di sini, fungsi para pujangga, selain menyuguhkan kisah-kisah yang dapat menghibur pendengarnya, juga yang terutama untuk melegitimasi kekuasaan raja. Dalam hal itu, pujangga menempati kedudukan penting. Ia menduduki peranan yang khas, baik dalam kehidupan di lingkungan istana, maupun dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan di lingkungan istana, pujangga adalah salah seorang aparat yang bertugas menghasilkan karya sastra yang dapat mencitrakan kekuasaan raja. Oleh karena itu, pengayoman kehidupan pujangga dan keluaraganya di bawah pengayoman raja. Segala kebutuhan hidup pujangga dan keluarganya sepenuhnya menjadi tanggungan raja.
Dalam kehidupan di tengah masyarakat, pujangga dianggap sebagai empu atau tokoh yang mumpuni; berpengetahuan luas, arif bikjaksana dan mengetahui tanda-tanda zaman. Mengingat kedudukan yang demikian, pujangga juga seringkali bertindak sebagai penasihat raja. Tak jarang berperan sebagai penyambung lidah raja jika raja menyampaikan amanat. Dengan begitu, pujangga dalam kesusastraan lama acapkali memainkan peranannya sebagai jembatan yang menghubungkan raja dan rakyatnya atau sebaliknya.
Dalam kehidupan masyarakat modern, kedudukan dan peranan sastrawan relatif lebih bebas dan mandiri. Meskipun demikian, di negara komunis, di bawah pemerintahan yang menjalankan kekuasaannya secara fasis atau di negara yang pemerintahannya dijalankan dengan kekuasaan represif, peranan sastrawan sering kali dimanfaatkan –bahkan dipaksakan- untuk menyebarkan ideologi pemerintah yang berkuasa. Karya-karya sastra yang seperti itulah yang disebut sastra propaganda. Dalam sejarah sastra Indonesia, karya-karya sastra –dalam beberapa hal- yang diterbitkan Balai Pustaka sebelum perang, sebagian besar karya sastra  pada zaman Jepang atau yang dihasilkan para seniman Lekra PKI tahun 1960-an, merupakan contoh jenis karya yang seperti itu. Sastrawan diawasi, dipaksa, bahkan juga diperalat untuk kepentingan ideologi.[14]
Saat ini, kemandirian sastrawan disadari sebagai hak yang asasi dan fundamental berkaitan dengan berkreasi (licentia poetica). Dengan cara itu, sastrawan dapat berkarya sesuai dengan hati nuraninya. Ia secara tegas menafikan pesan-pesan yang mungkin ditawarkan pihak lain. Dalam hal ini, sastrawan hanya berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kejujuran hati nuraninya. Oleh karena itu, jika muncul sejumlah karya sastra yang berisi kritik sosial, sesungguhnya hal itu sebagai pengejewantahan kejujuran dan kemandirian sastrawan yang berjuang mengangkat kebenaran dan moral kemanusiaan.
Kedudukan dan peranan sastrawan di zaman modern ini sangat berbeda dengan pujangga masa lalu. Yang dibela sastrawan sekarang adalah kebenaran, kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan yang diperjuangkannya adalah peningkatan moral manusia, keluhuran budi, dan peri kemanusiaan sejagat atau apa yang disebut sebagai humanisme universal.[15]
Meskipun pembelaan dan perjuangan yang dilakukan para sastrawan ini lebih bersifat abstrak dan hanya berujud pemikiran dan gagasan-gagasan, tidak berarti usaha mereka tanpa konsekuensi. Mereka tak jarang harus berhadapan dengan tiran-tirani, rezim yang berkuasa, dan kelaliman para penguasa. Contohnya Mochtar Lubis, sastrawan yang pernah merasakan pahitnya hidup di penjara. Pada zaman Orde Lama hampir delapan tahun, ia ditahan dan baru dibebaskan tahun 1966. Bahkan novelnya, Senja di Jakarta ditulisnya ketika ia berada di dalam penjara. Rendra juga pernha mengalami hal yang sama ketika ia harus berhadapan dengan kezaliman rezim Orde Baru.[16]
Beberapa sastrawan Indonesia lainnya yang sering berurusan dengan aparat keamanan karena karya-karyanya dinilai mengkritik pemerintah, dapatlah disebutkan di sini, antara lain, N. Riantiarno dan Ratna Sarumpaet. Sementara karya-karyanya yang dilarang karena keterlibatan mereka dalam organisasi politik (Lekra/PKI) adalah Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sejumlah sastrawan Lekra lainnya.

B. Citra Pengarang Indonesia
Budi Dharma dalam bukunya mengatakan bahwa menulis itu sulit, kita harus memiliki ketajaman berpikir, kemampuan mengorganisir pikiran, kemampuan berbahasa, menguasai teori menulis, dan memiliki ketakutan jika karyanya tidak ilmiah dan keliru.[17]
Mengingat sastrawan Indonesia sebelum perang sebagian besar berpendidikan Belanda, maka profesi kesastrawanannya di tengah masyarakat ditempatkan dalam status yang terhormat. Masyarakat memandangnya sebagai priayi; golongan terpelajar dan kelompok elite, bahkan sering juga dianggap sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah). Itulah citra sastrawan sebelum merdeka. Penghargaan masyarakat pada sastrawan masa itu terutama karena kepriayian dan keterpelajarannya.[18]
Awal merdeka  (periode 1945-1950) sastrawan berperan mengobarkan semangat perjuangan dan menumbuhkan perasaan cinta tanah air, mendapat tempat yang cukup terhormat. Bahkan, ketika itu pemerintah sengaja memberi santunan (semacam gaji bulanan) kepada sastrawan, mengingat peranannya dianggap penting dalam menumbuhkan semangat cinta tanah air. Oleh sebab itu, sangat mengherankan, jika profesi kesastrawanan di Indonesia kini tidak diperlakukan seperti masa sebelumnya. Bahkan ada anggapan, bahwa profesi sastrawan merupakan profesi yang tidak menjanjikan, pekerjaan yang tidak penting, tak punya kantor dan penghasilan tetap, dan tak menghasilkan materi berlimpah.[19]
Citra yang negatif itu diperparah oleh sikap dan perilaku mereka yang bercita-cita menjadi sastrawan atau yang sekadar ingin disebut sastrawan, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Sikap dan perilaku mereka yang urakan,eksentrik dan tingkah laku yang aneh-aneh, menyebabkan masyarakat makin antipati terhadap profesi sastrawan. Akibatnya, citra sastrawan dalam pandangan masyarakat, makin tidak populer.
Akibat citra sastrawan yang demikian itu, pada gilirannya karya sastra diperlakukan sebagai karya para penghayal yang tidak penting dan tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Bahkan, berkembang anggapan di masyarakat, bahwa membaca karya sastra sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu. Mereka yang membaca karya sastra dicap sebagai pemalas. Inilah pandangan sebagian besar masyrakat kita mengenai profesi sastrawan dan memperlakukan karya sastra sebagai karya yang tidak mendatangkan manfaat apa-apa.
Pandangan negatif terhadap sastrawan yang demikian itu, tentu saja keliru. Tuntutan yang mutlak dimiliki oleh seorang sastrawan tidak hanya kepiawaiannya menciptakan sebuah dunia imajinatif, melainkan juga keluasan pengetahuannya. Sastrawan yang hanya mengandalkan bakat alam saja hanya akan menjadi sastrawan kacangan dan akan cepat kehabisan ide.
Citra pengarang sebagai warga masyarakat yang dianggap tidak jelas pekerjaannya dan dengan sendirinya tidak jelas penghasilannya, menyebabkan banyak anggota masyarakat yang memandang rendah profesi itu,. Padahal, sesungguhnya profesi sastrawan atau pengarang, tidaklah berbeda dengan profesi lain. Ia punya tempatnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga dapat memainkan perananannya sendiri yang juga tidak kalah pentingnya dari profesi lain. Bahkan, jika mengamati proses kreatif seorang pengarang atau sastrawan, mereka sebenarnya termasuk golongan intelektual. Dengan inteleknya itu, sastrawan berkarya dan menghasilkan karya kreatif.
Di dalam kehidupan sebagai warganegara, banyak pula pengarang (sastrawan) kita yang dikenal luas di tingkat dunia. Tidak sedikit karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dengan sendirinya, mereka juga dikenal oleh bangsa lain. Jika salah seorang atlet kita yang berhasil menjadi juara dunia dalam salah satu cabang olahraga mendapat penghargaan luar biasa dari masyarakat dan pemerintah,ia juga disanjung karena telah mengharumkan nama bangsa. Sedangkan para sastrawan yang juga dikenal secara internasional tidak diberi penghargaan seperti kepada atlet itu, padahal nsama-sama mengharumkan nama bangsa.
Pembicaraan citra pengarang secara umum termasuk ke dalam sistem pengarang. Yang menjadi pusat perhatian adalah latar pendidikan pengarang, lingkungan sosial, ideologi atau agama yang dianut, kebudayaan yang melahirkan, membentuk dan membesarkannya, penghasilannya, serta persoalan yang berkaitan dengan sistem penerbitan. Misalnya, bahwa pengarang adalah anggota masyarakat, sama halnya seperti anggota masyarakat yang lain. Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan sosial, budaya, tradisi budaya, dan hal lain yang berkaitan dengan itu. Jika pengarang mempublikasikan karyanya, ia langsung berhadapan dengan penerbit dan masyarakat pembacanya.[20]
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, konteks pembicaraan citra pengarang akan mengungkapkan, bagaimana keberadaan pengarang Indonesia; peranannya di tengah masyarakat; penghidupan atau mata pencahariannya; pandangan masyarakat terhadap profesi pengarang; dan seperti diakatakan Sapardi Djoko Damono, “Ditinjau dari satu segi, pengarang dihormati, ditinjau dari segi lain yakni mata pencaharian, cenderung direndahkan.[21]  
Pada awalnya, terutama sejak masa pertumbuhan kesusastraan Indonesia, profesi pengarang hampir tidak dapat dipisahkan dari profesi wartawan dan guru. Pengarang masa itu, termasuk golongan intelektual, setidak-tidaknya mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Belanda, kecuali Hamka yang lebih banyak memperoleh pendidikan di luar itu. Dengan perkataan lain, pengarang sebelum perang adalah sastrawan denga latar belakang pendidikan Belanda. Profesinya sebagai pengarang bukan pekerjaannya yang utama, melainkan pekerjaan penunjang atau yang dilakukan di luar pekerjaan utamanya. Tetapi, ketika ia berhasil mempublikasikannya, ketika itu pula ia dapat lebih cepat di kenal luas oleh masyarakat. Dan masyarakat pembaca karya sastra masa itu adalah golongan terpelajar. Jadi, popularitas para pengarang itu juga terbatas pada golongan terpelajar, dan tidak menyentuh masyarakat kebanyakan yang memang belum pandai baca-tulis.[22]
Bagaimanapun masyarakat –yang ketika itu belum banyak yang bersekolah- tidak mengetahui persis profesi kepengarangan. Mereka hanya tahu dua profesi, yaitu pegawai pemerintah dan pegawai partikulir yang bekerja bukan di kantor pemerintah. Dalam pandangan masyarakat Indonesia sebelum perang, tidak ada profesi yang lebih tinggi kedudukannya menjadi pegawai pemerintah, berarti masuk sebagai kelompok yang disebut priayi.[23]
Satu hal yang sangat mungkin bagi rakyat biasa untuk mengangkat status sosialnya dan kemudian masuk ke dalam kelas priayi adalah dengan menempuh pendidikan Belanda dan bekerja sebagai pegawai pemerintah. Paling tidak, dengan pendidikan Belanda,  betapapun ia bekerja sebagai pegawai rendah atau pegawai swasta, ia masih akan tetap dipandang dengan status sosial priayi.
Sebagai kaum terpelajar, pengarang juga dipandang sebgai priayi bukan karena profesi kepengarangannya, tetapi karena keterpelajarannya. Citra itualah yang dilekatkan masyarakat kepada pengarang Balai Pustaka. Dengan begitu, profesi pengarang dianggap sama dengan profesi lain yang penyampaiannya harus lewat pendidikan tertentu. Akibatnya, pekerjaan mengarang tak diperlakukan sebagai profesi khusus, tetapi sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan yang dilakukan di luar pekerjaan rutin yang secara periodik mendapat gaji atau penghasilan dalam jumlah tertentu.[24]
Kaum terdidik ini oleh pakar-pakar sejarah Indonesia disebut golongan priayi, yang merupakan golongan elite baru dalam struktur sosial Indonesia.[25]
Selepas perang sampai pihak Belanda mengakui kedaulatan Indonesia akhir tahun 1949, dibandingkan para pegawai negeri atau pedagang (pengusaha), para pengarang sebenarnya lebih dapat “bertahan hidup”. Penghasilan dari mengarang, juga cukup memadai. Modal pengetahuan, kemahiran memainkan bahasa, dan ketajaman menangkap situasi zaman, memungkinkan seorang pengarang dapat berrahan hidup dalam situasi apa pun. Itulah yang terjadi pada para pengarang pada masa itu.
Peran sastrawan dalam kehidupan bangsa ini mulai surut ke belakang saat perang kemerdekaan berkecamuk tahun 1945-1949. Yang muncul sebagai tokoh penting dalam tahun 1950-an adalah mereka yang berjasa dalam perang kemerdekaan. Dengan begitu muncul priayi model baru yaitu mereka yang pendidikan formalnya tidak menonjol, namun berjasa dalam perang kemerdekaan. Itu berarti citra sastrawan-wartawan sebagai pejuang moral, mulai terpuruk oleh mereka yang bergerak di bidang kemiliteran dan politik. Itulah citra pengarang dalam pandangan masyarakat Indonesia waktu itu.[26]
Memasuki zaman Orde Baru, citra pengarang makin tak populer di mata masyarakat lantaran pemerintah lebih menekan prestasi seseorang berdasarkan ukuran material dan segala sesuatu yang berdifat fisikal. Keadaan itu makin parah dengan dominasi militer yang dibiarkan secara leluasa memasuki berbagai bidang kehidupan sosial, politik dan kenegaraan. Dampaknya luar biasa. Pengarang yang lapangan perjuangannya menyangkut masalah moral, etika, dan hati nurani manusia, dianggap sama sekali tidak penting. Citra buruk buruk kepengarangan ini membias pula pada profesi lain yang juga lapangan perjuangannya di bidang moral, intelektual, etika dan secara umum berkaitan dengan masalah humaniora. Akibatnya, dapat dipastikan, sebagian besar msyarakat, tidak hanya tidak punya keinginan menjadi pengarang, melainkan juga cenderung tidak mau tahu mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan profesi kepengarangan; penghasilannya, peranannya dan syarat (tak tertulis) yang dituntut profesi itu.
Citra pengarang pada Orde Baru makin terpuruk. Meskipun tidak sedikit pengarang Indonesia yang meraih penghargaan Internasional, buah karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan pemikiran yang terdapat di dalamnya diteliti, dikaji dan didiskusikan para ilmuwan dalam dan luar negeri, masyarakat dan pemerintah, tetap saja tidak mau tahu pada prestasi para pengarang bangsanya sendiri. Mengingat karya sastra adalah hasil dari proses perpaduan dan integrasi imajinasi dan intelektual sastrawan, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghargai karya para pengarang dan menempatkannya sebagai karya intelektual.
Memasuki tahun 1950-an, saat pendidikan mulai terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat, tidak semua lapisan masyarakat dapat mengenyam pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga bagi masyarakat yang kemampuannya hanya terbatas baca-tulis tetap saja tidak bisa masuk ke golongan priayi. Dan kondisi itu tidak didukung dengan keadaan perekonomian masyarakat Indonesia. Terlebih lagi diperparah dengan harga buku yang relatif mahal, termasuk buku-buku sastra. Hal itu jelas membuat masyarakat menomer sekiankan untuk membeli buku sastra. Dan membeli buku hanyalah dilakukan oleh keluarga yang memang berkecukupan dan mampu membelinya.
Pengarang yang memiliki kecerdasan intelektual akan menghasilkan karya sastra yang bagus dan bermutu. Sayangnya hal itu tidak didukung dengan kondisi bangsa Indonesia saat itu, mayoritas bangsa Indonesia tidak mengenyam pendidikan ke tingkat tinggi, sehingga sastra dianggap hanya untuk kalangan elit yang berpendidikan tinggi.
 Selepas dasa warsa 1950-an itulah, kepengarangan Indonesia mulai pudar pamornya. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1.    citra sastrawan sebagai priayi (golongan cerdik, pandai, dan terpelajar) mulai tersisihkan oleh para pejuang dan politisi yang berhasil menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan
2.    tradisi membaca mulai surut ke belakang lantaran tuntutan praktis yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi (sandang-pangan).
3.    masyarakat lebih mengalihkan perhatiannya  kepada buku-buku hiburan murahan.
4.    terciptanya pandangan yang keliru mengenai masalah intelektualisme. karya sastra tidak lagi ditempatkan sebagai karya intelektual, melainkan sebagai karya yang dapat dihasilkan sambil lalu,asalkan mempunyai bakat.
5.    ketika tradisi intelektual dan kebudayaan secara keseluruhan mulai dianggap tidak penting, dan kehidupan politik justru lebih mendominasi  di kalangan masyarakat.
Kelima faktor itulah yang menyebabkan surutnya minat baca, hancurnya penghargaan pada karya intelektual, dan tersisihnya kebudayaan sebagai bagian penting dalam pembangunan karakter bangsa (nation character building).[27]
 
 
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah, pada zaman kerajaan, sastrawan (pujangga) berperan untuk melegitimasi kekuasaan raja. Oleh karena itu, ia hidup di bawah pengayoman raja. Itu pula sebabnya, karya-karyanya harus menggambarkan kesaktian dan kebesaran raja sebagai usaha untuk menciptakan citra karismatik rajanya.
Di zaman modern, adanya kesadaran sastrawan mengenai licentia poetica sebagai hak istimewa yang fundamental, menyebabkan sastrawan tidak mau terikat dengan pihak mana pun. Mereka berpihak bukan kepada orang per orang, melainkan kepada kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Singkatnya, berpihak pada kemanusiaan. Yang diperjuangkan oleh sastrawan sekarang adalah peningkatan moral manusia, keluhuran budi, dan peri kemanusiaan umat manusia sejagat (humanisme universal).
Dan dapat disimpulkan juga bahwa intelektualitas adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi, ia harus ada pada seorang pengarang atau sastrawan, karena jika tidak, ia akan mudah kehabisan ide dan karya yang dihasilkannya tidak bermutu.


DAFTAR PUSTAKA

Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Jakarta : JP Books
Mahayana, Maman.S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing. 
Sumardjo, Jacob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah. Yogyakarta: Galang Press
Yudiono K.S. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Grasindo


[1] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. (Jakarta: Grasindo.2010) hal.11
[2] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. hal. 5
[3] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening Publishing. 2005) Hal. 13
[4] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 14
[5] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening Publishing. 2005) Hal. 14
[6] Maman Mahayana S. 2005. Hal 15.
[7] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 15
[8] Maman Mahayana S. 2005Hal. 15
[9] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 16
[10] Maman Mahayana S. 2005  Hal. 17
[11] Maman Mahayana S. 2005  Hal. 18
[12] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 21
[13] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 21
[14] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 22
[15] Maman Mahayana S. Hal. 23
[16] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 23
[17] Budi Darma. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. (Jakara: JP Books.2007) hal 9
[18] Maman Mahayana S. 2005  Hal. 18
[19] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 19
[20] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 25
[21] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 26
[22] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 26
[23] Maman Mahayana S. 2005  Hal. 27
[24] Maman Mahayana S. 2005Hal. 28
[25] Jakob Sumardjo. Kesusastraan Melayu Rendah. (Yogyakarta: Galang Press. 2004) Hal. 15
[26] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 29
[27] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta: Bening  Publishing. 2005) Hal. 34

No comments:

Post a Comment

Thank You ^_^