Oleh : S. Hani. N
BAB I
PENDAHULUAN
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra indonesia ialah
sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi,
cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi,
definisi singkat dan sederhana itu dapat didebat dengan pendapat yang
mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah keseluruhan sastra yang berkembang di
Indonesia selama ini.[1]
Sejarah sastra Indonesia adalah berbicara tentang sejarah
perjalanan semua hal yang berhubungan dengan sastra di Indonesia, baik itu
pengarang, keadaan sosial, karya yang dihasilkan, dan lain sebagainya. Salah
satu diantaranya yang sangat berpengaruh pada sebuah karya sastra adalah
pengarang.
Dunia kepengarangan merupakan wilayah tersendiri dalam dinamika
sastra Indonesia selama ini. Yang jelas, selama ini tidak ada sekolah
kepengarangan, tetapi terus bermunculan
pengarang dengan potensi yang beragam.[2]
Tradisi kepengarangan di Indonesia sesungguhnya telah punya sejarah
yang panjang. Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi,
cikal-bakalnya dimulai sejak zaman raja-raja yang berlanjut nantinya dan
mengikuti pergerakan zaman dan berubah sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi yang dialami masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut dalam makalah ini tidak hanya akan dibahas tentang
kepengarangan di Indonesia, tetapi juga penyusun akan membahas tentang
bagaimana citra kepengarangan di Indonesia yang ternyata tidak sama
pencitraannya antara zaman dahulu sebelum perang kemerdekaan dan zaman modern
(saat ini). Tentu hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya dan akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya.
BAB II
EKSISTENSI KEPENGARANGAN INDONESIA
Seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, tradisi
kepengarangan di Indonesia sesungguhnya telah punya sejarah yang panjang.
Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal-bakalnya
dimulai sejak zaman raja-raja.
A.Tradisi
Kepengarangan Tradisional dan Modern
Pada mulanya ia berkaitan erat dengan kelahiran dan perkembangan
sastra keraton; sebuah kehidupan estetik yang dilahirkan dan dinikmati keluarga
bangsawan yang hidup di lingkungan istana. Sastra keraton mengangkat kehidupan
istana dan raja-raja (istana sentris) serta dunia supernatural. Penciptaan
karya sastra dimaksudkan sebagai salah satu alat untuk melegitimasi kekuasaan
raja. Sastra keraton tumbuh dan berkembang di lingkungan istana. [3]
Tradisi kepengarangan sebagai profesi khusus dimulai dari
lingkungan keraton yang diperankan golongan bangsawan. Dalam hal ini, yang
dimaksud profesi kepengarangan
(kepujanggaan) adalah pekerjaan atau aktivitas yang menghasilkan atau mendatangkan
keuntungan tertentu. Pihak kerajaan biasanya memberi balas jasa atas profesi
itu dalam bentuk pengayoman. Dalam sistem pengayoman, raja bertindak sebagai
pelindung dan kerajaan memberikan berbagai fasilitas, tidak hanya kepada
pujangga yang bersangkutan, tetapi juga kepada segenap anggota keluarganya.
Mengingat pujangga keraton telah menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan
itu, ia melakukan pekerjaannya berdasarkan perintah raja atau pesanan pihak
keluarga kerajaan. Cara penyampaiannya, dapat dilakukan secara lisan atau
melalui tulisan tangan, bergantung pada tujuan yang hendak disampaikannya.[4]
Tradisi kesusastraan di luar keraton menyebar secara lisan. Para
tukang cerita, pawang, atau orang-orang yang dituakan, seperti kepala suku atau
ketua adat, menyampaikan sastra lisan lantaran ia punya peranan penting dalam
masyarakat, dan bukan semata-mata karena penguasaannya pada cerita-cerita yang
sering dianggap sakral itu. Jadi, mereka itu tidak menempatkan kegiatan
bercerita sebagai profesi, melainkan sebagai bentuk kepercayaan masyarakat atas
status sosial yang disandangnya.
Dalam perkembangannya, peranan profesi kepengarangan mulai bergeser
setelah muncul para pujangga atau penyalin naskah di luar keraton. Mereka hidup
sebagai bagian dari sistem sosial dengan bentuk tulisan sebagai manifestasi
profesinya. Hubungan dengan audiensnya juga bergeser dari hubungan yang
langsung bertatap muka dengan pengarang menjadi tidak langsung karena sudah
melaui tulisan.
Sebelum mengenal tulisan, sastra berkembang melalui lisan,
penyebarannya dari mulut ke mulut, maka tidak heran akan ditemukan beberapa
versi tentang sastra tersebut berupa pengurangan atau penambahan. Misalnya
cerita-cerita si Kabayan, ia berkembang di Pasundan dengan lebih dari puluhan
versi. Banyak orang Pasundan yang akhirnya menganggap bahwa tokoh Kabayan itu
benar-benar hidup, bahkan sebagian mereka berziarah ke makam yang dipercaya
sebagai makam Kabayan.
Ketika orang mulai mengenal tulisan, beberapa cerita lisan mulai
dituliskan. Dan banyak diantaranya dituliskan atas perintah raja, sultan, atau
bangsawan yang menggemari cerita-cerita itu. Beberapa pejabat Belanda pun
menyuruh pegawai primbuminya untuk menyalin cerita-cerita yang pernah
didengarnya.[5]
Belum dikenalnya alat cetak menyebabkan penyebaran cerita dalam
naskah-naskah itu dilakukan lewat tulisan tangan atau dengan penyalinan
kembali. Akibatnya, cerita dalam naskah itupun sering kali mengalami perubahan.
Ada bagian yang terlalaikan atau tak tertuliskan, baik secara sengaja atau
tidak, ada yang dihilangkan dan ada yang ditambahkan, bahkan ada yang hanya
jalan cerita dan tokohnya saja yang disalin, sedangkan peristiwa-peristiwanya
sengaja disalin secara berbeda.[6]
Contohnya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Pandawa Lima atau
cerita-cerita binatang, misalnya dalam sepuluh versi. Akibatnya kita sulit
mencari mana teks atau sastra yang asli.
Ketika alat cetak diperkenalkan, terjadi perubahan besar dalam
tradisi kesusastraan di Nusantara. Ketika Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
pertama kali menggunakan alat cetak batu untuk karyanya Kalila dan Damina,
ia mengatakan ada empat manfaat yang dapat diambil dari alat cetak batu itu,
yaitu (1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaannya,
(3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya. Sejak
itu dimulailah penerbitan buku-buku sastra dan buku pengetahuan lainnya yang
berbarengan dengan penerbitan surat-surat kabar dan majalah. Jika melihat awal
digunakannya alat cetak dalam tradisi kesusastraan Indonesia, maka dua nama
yang mengawali penerbitan karya sastra dengan menggunakan alat cetak adalah
Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dari sinilah sesungguhnya
tradisi kepengarangan dan kesusastraan Indonesia modern, dapat kita telusuri.[7]
Meskipun karya kedua sastrawan ini masih memperlihatkan ciri-ciri
kesusastraan lama, peranan kepengarangannya sudah dilakukan secara profesional.
Dengan demikian, peranan kepengarangannya juga dilakukan sebagaimana yang
terjadi dalam masyarakat modern. Di betawi pada akhir abad ke-19, Muhammad
Bakir bin Sofyan bin Usman Fadli juga telah merintis pekerjaan mengarang
sebagai sebuah profesi. Ia menulis naskah dan kemudian meminjamkannya kepada
masyarakat dengan bayaran tertentu.[8]
Dapat disimpulkan, pekerjaan mengarang sebagai sebuah profesi,
telah dirintis Muhammad Bakir ketika itu. Sebuah pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian menulis dan mengarang.
Sejumlah faktor yang memungkinkan munculnya profesi itu, antara
lain disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini: (1) jatuhnya sejumlah kerajaan di Jawa telah memudarkan dominasi
raja sebagai pengayom, (2) makin kuat dan meluasnya kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda yang menggantikan kekuasaan dan peranan raja, sultan, atau
pemimpin tradisional, (3) berkurangnya kisah-kisah yang berpusat pada kehidupan
istana (istana sentris) dan dunia supernatural, (4) mulai banyak kisah yang
mengangkat kehidupan sosial, dan (5) digunakannyab alat cetak. Itulah sebabnya,
beberapa penulis seperti Muhammad Bakir, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan
Raja Ali Haji peranannya mulai ditempatkan sebagai pekerja profesional. Sementara
karya-karyanya itu sendiri, dalam beberapa hal, seperti pencantuman nama
pengarang atau penulis-penyalin, penyebutan latar waktu dan latar tempat, dan
adanya gambaran tentang masyarakat tertentu menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan dibandingkan karya-karya sebelumnya. Perbedaan itulah yang menandai
ciri-ciri kesusastraan modern dengan ciri-ciri kesusastraan sebelumnya.[9]
Perkembangan sangat cepat terjadi setelah diperkenalkannya alat
cetak. Sejak itu, bermunculan sejumlah penerbit swasta menjelang dan awal tahun
1900-an, lalu disusul dengan berdirinya Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 yang
kemudian berganti nama menjadi Balai Pustaka tahun 1917. Peranan profesional
sastrawan dengan demikian makin memperoleh bentuk dan kedudukan yang jelas di
tengah masyarakat. Waktu itu pekerjaan sebagai sastrawan memperoleh imabalan
material yang pantas, bahkan lebih besar pula dari gaji sebulan seorang guru
sekolah pemerintah. Demikian juga penghargaan masyarakat terhadap sastrawan,
sangatlah baik mengingat mereka termasuk sebagai golongan priayi.[10]
Mengingat peranan alat
cetak sangat besar artinya bagi penerbitan karya-karya sastra, maka profesi
sastrawan menuntut adanya syarat-syarat tertentu:
1.
Penguasaan membaca dan menulis.
2.
Kemampuannya melakukan rekreasi, yaitu menciptakan kembali
kehidupan yang sebenarnya ke dalam dunia kata-kata. Dalam hal ini, penguasaan
bahasa dan kemampuan melakukan pilihan kata (diksi) merupakan hal yang mutlak
dimiliki seorang sastrawan.
3.
Penguasaan ilmu pengetahuan. Pendidikan, pergaulan, dan pengalaman
bagi profesi sastrawan merupakan faktor penting dan menentukan keberhasilan
seseorang yang menempatkan profesi sastrawan sebagai pekerjaan.[11]
Pada kapengarangan tradisional, guna memperkokoh karisma raja
dihadapan rakyat, berbagai cerita tentang kesucian, kehebatan dan kesaktian
raja, menjadi salah satu sarana penting untuk menciptakan citra karismatik
rajanya. Lewat cerita seperti itu, diharapkan rakyat tidak hanya bangga dan
mengagumi rajanya, tetapi juga memberi legitimasi agar rakyat dapat makin
mempercayai kesaktian rajanya. Bahkan, tidak jarang masyarakat mempercayai raja
sebagai keturunan dewa.[12]
Dalam hal itulah, para pujangga kerajaan memainkan peranannya.
Lalu, dibuatlah kisah-kisah tentang raja yang digambarkan sebagai titisan dewa
yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan berbagai kisah kepahlawanan dan
penaklukan yang dilakukan rajanya. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika
dalam kesusastraan lama, sebagaimana yang dapat kita cermati pada naskah-naskah
kesusastraan lama, selalu saja ada kisah yang berkaitann dengan dunia
supernatural. Seperti pada Hikayat Seri Rama, Hikayat Pandawa Lima atau
cerita-cerita Panji, semua menggambarkan hal demikian.[13]
Dalam tradisi kesusastraan lama, pujangga hanya memusatkan
perhatiannya pada kehidupan istana ataudunia supranatural. Oleh karena itu,
salah satu ciri yang menonjol pada karya sastra lama adalah gambaran kehidupan
yang berpusat pada kehidupan istana (istana sentris) yang diwarnai dengan
kisah-kisah supernatural. Di sini, fungsi para pujangga, selain menyuguhkan
kisah-kisah yang dapat menghibur pendengarnya, juga yang terutama untuk
melegitimasi kekuasaan raja. Dalam hal itu, pujangga menempati kedudukan
penting. Ia menduduki peranan yang khas, baik dalam kehidupan di lingkungan
istana, maupun dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan di lingkungan istana, pujangga adalah salah seorang
aparat yang bertugas menghasilkan karya sastra yang dapat mencitrakan kekuasaan
raja. Oleh karena itu, pengayoman kehidupan pujangga dan keluaraganya di bawah
pengayoman raja. Segala kebutuhan hidup pujangga dan keluarganya sepenuhnya
menjadi tanggungan raja.
Dalam kehidupan di tengah masyarakat, pujangga dianggap sebagai
empu atau tokoh yang mumpuni; berpengetahuan luas, arif bikjaksana dan
mengetahui tanda-tanda zaman. Mengingat kedudukan yang demikian, pujangga juga
seringkali bertindak sebagai penasihat raja. Tak jarang berperan sebagai
penyambung lidah raja jika raja menyampaikan amanat. Dengan begitu, pujangga
dalam kesusastraan lama acapkali memainkan peranannya sebagai jembatan yang
menghubungkan raja dan rakyatnya atau sebaliknya.
Dalam kehidupan masyarakat modern, kedudukan dan peranan sastrawan
relatif lebih bebas dan mandiri. Meskipun demikian, di negara komunis, di bawah
pemerintahan yang menjalankan kekuasaannya secara fasis atau di negara yang
pemerintahannya dijalankan dengan kekuasaan represif, peranan sastrawan sering
kali dimanfaatkan –bahkan dipaksakan- untuk menyebarkan ideologi pemerintah
yang berkuasa. Karya-karya sastra yang seperti itulah yang disebut sastra
propaganda. Dalam sejarah sastra Indonesia, karya-karya sastra –dalam beberapa
hal- yang diterbitkan Balai Pustaka sebelum perang, sebagian besar karya
sastra pada zaman Jepang atau yang
dihasilkan para seniman Lekra PKI tahun 1960-an, merupakan contoh jenis karya
yang seperti itu. Sastrawan diawasi, dipaksa, bahkan juga diperalat untuk
kepentingan ideologi.[14]
Saat ini, kemandirian sastrawan disadari sebagai hak yang asasi dan
fundamental berkaitan dengan berkreasi (licentia poetica). Dengan cara
itu, sastrawan dapat berkarya sesuai dengan hati nuraninya. Ia secara tegas
menafikan pesan-pesan yang mungkin ditawarkan pihak lain. Dalam hal ini,
sastrawan hanya berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kejujuran hati
nuraninya. Oleh karena itu, jika muncul sejumlah karya sastra yang berisi
kritik sosial, sesungguhnya hal itu sebagai pengejewantahan kejujuran dan
kemandirian sastrawan yang berjuang mengangkat kebenaran dan moral kemanusiaan.
Kedudukan dan peranan sastrawan di zaman modern ini sangat berbeda
dengan pujangga masa lalu. Yang dibela sastrawan sekarang adalah kebenaran,
kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan yang
diperjuangkannya adalah peningkatan moral manusia, keluhuran budi, dan peri
kemanusiaan sejagat atau apa yang disebut sebagai humanisme universal.[15]
Meskipun pembelaan dan perjuangan yang dilakukan para sastrawan ini
lebih bersifat abstrak dan hanya berujud pemikiran dan gagasan-gagasan, tidak
berarti usaha mereka tanpa konsekuensi. Mereka tak jarang harus berhadapan
dengan tiran-tirani, rezim yang berkuasa, dan kelaliman para penguasa.
Contohnya Mochtar Lubis, sastrawan yang pernah merasakan pahitnya hidup di
penjara. Pada zaman Orde Lama hampir delapan tahun, ia ditahan dan baru
dibebaskan tahun 1966. Bahkan novelnya, Senja di Jakarta ditulisnya
ketika ia berada di dalam penjara. Rendra juga pernha mengalami hal yang sama
ketika ia harus berhadapan dengan kezaliman rezim Orde Baru.[16]
Beberapa sastrawan Indonesia lainnya yang sering berurusan dengan
aparat keamanan karena karya-karyanya dinilai mengkritik pemerintah, dapatlah
disebutkan di sini, antara lain, N. Riantiarno dan Ratna Sarumpaet. Sementara
karya-karyanya yang dilarang karena keterlibatan mereka dalam organisasi
politik (Lekra/PKI) adalah Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan
sejumlah sastrawan Lekra lainnya.
B.
Citra Pengarang Indonesia
Budi Dharma dalam bukunya mengatakan bahwa menulis itu sulit, kita
harus memiliki ketajaman berpikir, kemampuan mengorganisir pikiran, kemampuan
berbahasa, menguasai teori menulis, dan memiliki ketakutan jika karyanya tidak
ilmiah dan keliru.[17]
Mengingat sastrawan Indonesia sebelum perang sebagian besar
berpendidikan Belanda, maka profesi kesastrawanannya di tengah masyarakat
ditempatkan dalam status yang terhormat. Masyarakat memandangnya sebagai
priayi; golongan terpelajar dan kelompok elite, bahkan sering juga dianggap
sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah). Itulah citra sastrawan sebelum
merdeka. Penghargaan masyarakat pada sastrawan masa itu terutama karena
kepriayian dan keterpelajarannya.[18]
Awal merdeka (periode
1945-1950) sastrawan berperan mengobarkan semangat perjuangan dan menumbuhkan
perasaan cinta tanah air, mendapat tempat yang cukup terhormat. Bahkan, ketika
itu pemerintah sengaja memberi santunan (semacam gaji bulanan) kepada
sastrawan, mengingat peranannya dianggap penting dalam menumbuhkan semangat
cinta tanah air. Oleh sebab itu, sangat mengherankan, jika profesi
kesastrawanan di Indonesia kini tidak diperlakukan seperti masa sebelumnya.
Bahkan ada anggapan, bahwa profesi sastrawan merupakan profesi yang tidak
menjanjikan, pekerjaan yang tidak penting, tak punya kantor dan penghasilan
tetap, dan tak menghasilkan materi berlimpah.[19]
Citra yang negatif itu diperparah oleh sikap dan perilaku mereka
yang bercita-cita menjadi sastrawan atau yang sekadar ingin disebut sastrawan,
tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Sikap dan perilaku mereka yang
urakan,eksentrik dan tingkah laku yang aneh-aneh, menyebabkan masyarakat makin
antipati terhadap profesi sastrawan. Akibatnya, citra sastrawan dalam pandangan
masyarakat, makin tidak populer.
Akibat citra sastrawan yang demikian itu, pada gilirannya karya
sastra diperlakukan sebagai karya para penghayal yang tidak penting dan tidak
mendatangkan manfaat apa-apa. Bahkan, berkembang anggapan di masyarakat, bahwa
membaca karya sastra sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu. Mereka yang
membaca karya sastra dicap sebagai pemalas. Inilah pandangan sebagian besar
masyrakat kita mengenai profesi sastrawan dan memperlakukan karya sastra
sebagai karya yang tidak mendatangkan manfaat apa-apa.
Pandangan negatif terhadap sastrawan yang demikian itu, tentu saja
keliru. Tuntutan yang mutlak dimiliki oleh seorang sastrawan tidak hanya
kepiawaiannya menciptakan sebuah dunia imajinatif, melainkan juga keluasan
pengetahuannya. Sastrawan yang hanya mengandalkan bakat alam saja hanya akan
menjadi sastrawan kacangan dan akan cepat kehabisan ide.
Citra pengarang sebagai warga masyarakat yang dianggap tidak jelas
pekerjaannya dan dengan sendirinya tidak jelas penghasilannya, menyebabkan
banyak anggota masyarakat yang memandang rendah profesi itu,. Padahal,
sesungguhnya profesi sastrawan atau pengarang, tidaklah berbeda dengan profesi
lain. Ia punya tempatnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga dapat
memainkan perananannya sendiri yang juga tidak kalah pentingnya dari profesi
lain. Bahkan, jika mengamati proses kreatif seorang pengarang atau sastrawan,
mereka sebenarnya termasuk golongan intelektual. Dengan inteleknya itu,
sastrawan berkarya dan menghasilkan karya kreatif.
Di dalam kehidupan sebagai warganegara, banyak pula pengarang
(sastrawan) kita yang dikenal luas di tingkat dunia. Tidak sedikit karya sastra
Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dengan sendirinya,
mereka juga dikenal oleh bangsa lain. Jika salah seorang atlet kita yang
berhasil menjadi juara dunia dalam salah satu cabang olahraga mendapat
penghargaan luar biasa dari masyarakat dan pemerintah,ia juga disanjung karena
telah mengharumkan nama bangsa. Sedangkan para sastrawan yang juga dikenal
secara internasional tidak diberi penghargaan seperti kepada atlet itu, padahal
nsama-sama mengharumkan nama bangsa.
Pembicaraan citra pengarang secara umum termasuk ke dalam sistem
pengarang. Yang menjadi pusat perhatian adalah latar pendidikan pengarang,
lingkungan sosial, ideologi atau agama yang dianut, kebudayaan yang melahirkan,
membentuk dan membesarkannya, penghasilannya, serta persoalan yang berkaitan
dengan sistem penerbitan. Misalnya, bahwa pengarang adalah anggota masyarakat,
sama halnya seperti anggota masyarakat yang lain. Ia tidak dapat melepaskan
dirinya dari lingkungan sosial, budaya, tradisi budaya, dan hal lain yang
berkaitan dengan itu. Jika pengarang mempublikasikan karyanya, ia langsung
berhadapan dengan penerbit dan masyarakat pembacanya.[20]
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, konteks pembicaraan citra
pengarang akan mengungkapkan, bagaimana keberadaan pengarang Indonesia;
peranannya di tengah masyarakat; penghidupan atau mata pencahariannya;
pandangan masyarakat terhadap profesi pengarang; dan seperti diakatakan Sapardi
Djoko Damono, “Ditinjau dari satu segi, pengarang dihormati, ditinjau dari segi
lain yakni mata pencaharian, cenderung direndahkan.[21]
Pada awalnya, terutama sejak masa pertumbuhan kesusastraan
Indonesia, profesi pengarang hampir tidak dapat dipisahkan dari profesi
wartawan dan guru. Pengarang masa itu, termasuk golongan intelektual,
setidak-tidaknya mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Belanda, kecuali Hamka
yang lebih banyak memperoleh pendidikan di luar itu. Dengan perkataan lain,
pengarang sebelum perang adalah sastrawan denga latar belakang pendidikan
Belanda. Profesinya sebagai pengarang bukan pekerjaannya yang utama, melainkan
pekerjaan penunjang atau yang dilakukan di luar pekerjaan utamanya. Tetapi,
ketika ia berhasil mempublikasikannya, ketika itu pula ia dapat lebih cepat di
kenal luas oleh masyarakat. Dan masyarakat pembaca karya sastra masa itu adalah
golongan terpelajar. Jadi, popularitas para pengarang itu juga terbatas pada
golongan terpelajar, dan tidak menyentuh masyarakat kebanyakan yang memang
belum pandai baca-tulis.[22]
Bagaimanapun masyarakat –yang ketika itu belum banyak yang
bersekolah- tidak mengetahui persis profesi kepengarangan. Mereka hanya tahu
dua profesi, yaitu pegawai pemerintah dan pegawai partikulir yang bekerja bukan
di kantor pemerintah. Dalam pandangan masyarakat Indonesia sebelum perang,
tidak ada profesi yang lebih tinggi kedudukannya menjadi pegawai pemerintah,
berarti masuk sebagai kelompok yang disebut priayi.[23]
Satu hal yang sangat mungkin bagi rakyat biasa untuk mengangkat
status sosialnya dan kemudian masuk ke dalam kelas priayi adalah dengan
menempuh pendidikan Belanda dan bekerja sebagai pegawai pemerintah. Paling
tidak, dengan pendidikan Belanda,
betapapun ia bekerja sebagai pegawai rendah atau pegawai swasta, ia masih
akan tetap dipandang dengan status sosial priayi.
Sebagai kaum terpelajar, pengarang juga dipandang sebgai priayi
bukan karena profesi kepengarangannya, tetapi karena keterpelajarannya. Citra
itualah yang dilekatkan masyarakat kepada pengarang Balai Pustaka. Dengan
begitu, profesi pengarang dianggap sama dengan profesi lain yang penyampaiannya
harus lewat pendidikan tertentu. Akibatnya, pekerjaan mengarang tak
diperlakukan sebagai profesi khusus, tetapi sebagai pekerjaan sambilan atau
pekerjaan yang dilakukan di luar pekerjaan rutin yang secara periodik mendapat
gaji atau penghasilan dalam jumlah tertentu.[24]
Kaum terdidik ini oleh pakar-pakar sejarah Indonesia disebut
golongan priayi, yang merupakan golongan elite baru dalam struktur sosial
Indonesia.[25]
Selepas perang sampai pihak Belanda mengakui kedaulatan Indonesia
akhir tahun 1949, dibandingkan para pegawai negeri atau pedagang (pengusaha),
para pengarang sebenarnya lebih dapat “bertahan hidup”. Penghasilan dari
mengarang, juga cukup memadai. Modal pengetahuan, kemahiran memainkan bahasa,
dan ketajaman menangkap situasi zaman, memungkinkan seorang pengarang dapat
berrahan hidup dalam situasi apa pun. Itulah yang terjadi pada para pengarang
pada masa itu.
Peran sastrawan dalam kehidupan bangsa ini mulai surut ke belakang
saat perang kemerdekaan berkecamuk tahun 1945-1949. Yang muncul sebagai tokoh
penting dalam tahun 1950-an adalah mereka yang berjasa dalam perang
kemerdekaan. Dengan begitu muncul priayi model baru yaitu mereka yang
pendidikan formalnya tidak menonjol, namun berjasa dalam perang kemerdekaan.
Itu berarti citra sastrawan-wartawan sebagai pejuang moral, mulai terpuruk oleh
mereka yang bergerak di bidang kemiliteran dan politik. Itulah citra pengarang
dalam pandangan masyarakat Indonesia waktu itu.[26]
Memasuki zaman Orde Baru, citra pengarang makin tak populer di mata
masyarakat lantaran pemerintah lebih menekan prestasi seseorang berdasarkan
ukuran material dan segala sesuatu yang berdifat fisikal. Keadaan itu makin
parah dengan dominasi militer yang dibiarkan secara leluasa memasuki berbagai
bidang kehidupan sosial, politik dan kenegaraan. Dampaknya luar biasa.
Pengarang yang lapangan perjuangannya menyangkut masalah moral, etika, dan hati
nurani manusia, dianggap sama sekali tidak penting. Citra buruk buruk
kepengarangan ini membias pula pada profesi lain yang juga lapangan
perjuangannya di bidang moral, intelektual, etika dan secara umum berkaitan
dengan masalah humaniora. Akibatnya, dapat dipastikan, sebagian besar
msyarakat, tidak hanya tidak punya keinginan menjadi pengarang, melainkan juga
cenderung tidak mau tahu mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan profesi
kepengarangan; penghasilannya, peranannya dan syarat (tak tertulis) yang
dituntut profesi itu.
Citra pengarang pada Orde Baru makin terpuruk. Meskipun tidak
sedikit pengarang Indonesia yang meraih penghargaan Internasional, buah
karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan pemikiran yang terdapat di
dalamnya diteliti, dikaji dan didiskusikan para ilmuwan dalam dan luar negeri,
masyarakat dan pemerintah, tetap saja tidak mau tahu pada prestasi para
pengarang bangsanya sendiri. Mengingat karya sastra adalah hasil dari proses
perpaduan dan integrasi imajinasi dan intelektual sastrawan, maka tidak ada
alasan bagi kita untuk tidak menghargai karya para pengarang dan menempatkannya
sebagai karya intelektual.
Memasuki tahun 1950-an, saat pendidikan mulai terbuka lebar bagi
semua lapisan masyarakat, tidak semua lapisan masyarakat dapat mengenyam
pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga bagi masyarakat yang
kemampuannya hanya terbatas baca-tulis tetap saja tidak bisa masuk ke golongan
priayi. Dan kondisi itu tidak didukung dengan keadaan perekonomian masyarakat
Indonesia. Terlebih lagi diperparah dengan harga buku yang relatif mahal,
termasuk buku-buku sastra. Hal itu jelas membuat masyarakat menomer sekiankan
untuk membeli buku sastra. Dan membeli buku hanyalah dilakukan oleh keluarga
yang memang berkecukupan dan mampu membelinya.
Pengarang yang memiliki kecerdasan intelektual akan menghasilkan
karya sastra yang bagus dan bermutu. Sayangnya hal itu tidak didukung dengan
kondisi bangsa Indonesia saat itu, mayoritas bangsa Indonesia tidak mengenyam
pendidikan ke tingkat tinggi, sehingga sastra dianggap hanya untuk kalangan
elit yang berpendidikan tinggi.
Selepas dasa warsa 1950-an
itulah, kepengarangan Indonesia mulai pudar pamornya. Hal itu disebabkan oleh
faktor-faktor berikut:
1.
citra sastrawan sebagai priayi (golongan cerdik, pandai, dan
terpelajar) mulai tersisihkan oleh para pejuang dan politisi yang berhasil
menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan
2.
tradisi membaca mulai surut ke belakang lantaran tuntutan praktis
yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi (sandang-pangan).
3.
masyarakat lebih mengalihkan perhatiannya kepada buku-buku hiburan murahan.
4.
terciptanya pandangan yang keliru mengenai masalah intelektualisme.
karya sastra tidak lagi ditempatkan sebagai karya intelektual, melainkan
sebagai karya yang dapat dihasilkan sambil lalu,asalkan mempunyai bakat.
5.
ketika tradisi intelektual dan kebudayaan secara keseluruhan mulai
dianggap tidak penting, dan kehidupan politik justru lebih mendominasi di kalangan masyarakat.
Kelima faktor itulah yang menyebabkan surutnya minat baca,
hancurnya penghargaan pada karya intelektual, dan tersisihnya kebudayaan
sebagai bagian penting dalam pembangunan karakter bangsa (nation character
building).[27]
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah, pada zaman kerajaan, sastrawan (pujangga) berperan
untuk melegitimasi kekuasaan raja. Oleh karena itu, ia hidup di bawah
pengayoman raja. Itu pula sebabnya, karya-karyanya harus menggambarkan
kesaktian dan kebesaran raja sebagai usaha untuk menciptakan citra karismatik
rajanya.
Di zaman modern, adanya kesadaran sastrawan mengenai licentia
poetica sebagai hak istimewa yang fundamental, menyebabkan sastrawan tidak
mau terikat dengan pihak mana pun. Mereka berpihak bukan kepada orang per
orang, melainkan kepada kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Singkatnya,
berpihak pada kemanusiaan. Yang diperjuangkan oleh sastrawan sekarang adalah
peningkatan moral manusia, keluhuran budi, dan peri kemanusiaan umat manusia
sejagat (humanisme universal).
Dan dapat disimpulkan juga bahwa intelektualitas adalah hal yang
tidak bisa ditawar lagi, ia harus ada pada seorang pengarang atau sastrawan,
karena jika tidak, ia akan mudah kehabisan ide dan karya yang dihasilkannya
tidak bermutu.
DAFTAR PUSTAKA
Darma, Budi.
2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Jakarta : JP Books
Mahayana,
Maman.S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening
Publishing.
Sumardjo, Jacob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah.
Yogyakarta: Galang Press
Yudiono K.S.
2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Grasindo
[1] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. (Jakarta: Grasindo.2010)
hal.11
[2] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. hal. 5
[3] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 13
[4] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 14
[5] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 14
[6] Maman Mahayana S. 2005. Hal 15.
[7] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 15
[8] Maman Mahayana S. 2005Hal. 15
[9] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 16
[10] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 17
[11] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 18
[12] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 21
[13] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 21
[14] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 22
[15] Maman Mahayana S. Hal. 23
[16] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 23
[17] Budi Darma. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. (Jakara: JP
Books.2007) hal 9
[18] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 18
[19] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 19
[20] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 25
[21] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 26
[22] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 26
[23] Maman Mahayana S. 2005 Hal. 27
[24] Maman Mahayana S. 2005Hal. 28
[25] Jakob Sumardjo. Kesusastraan Melayu Rendah. (Yogyakarta: Galang
Press. 2004) Hal. 15
[26] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 29
[27] Maman Mahayana S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. (Jakarta:
Bening Publishing. 2005) Hal. 34
No comments:
Post a Comment
Thank You ^_^